Data wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) seharusnya dapat diakses para penegak hukum. Hal itu dimungkinkan guna kepentingan pengungkapan kasus pidana yang diduga dilakukan pemilik NPWP.
Demikian pendapat pakar pidana Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio usai menghadiri pertemuan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai RUU Perampasan Aset, Rabu (5/3). "NPWP demi penegakan hukum seharusnya tidak menjadi sesuatu yang rahasia," kata Rudi di kantor KPK.
Dia menegaskan NPWP adalah alat yang tepat untuk memburu aset pelaku korupsi. Hal itu dia sampaikan karena dalam RUU tersebut perampasan aset dilakukan saat seseorang telah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Ia menyarankan, KPK terus melakukan pendekatan ke Departemen Keuangan, untuk memperoleh akses data NPWR
Menurutnya, ini satu kemajuan dari tujuan utama perampasan aset, yaitu pengembalian aset hasil korupsi. RUU ini menyatakan perampasan asset didukung oleh hakim agung. Selanjutnya, jika tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu maka asset hasil sitaan menjadi milik negara. Rudi menilai, ada kendala dalam hal perampasan aset.
Pasalnya, pelaku korupsi pandai mengalihkan asset miliknya. Namun, jika perampasan dilakukan belakangan, banyak kalangan mengkhawatirkan aset yang diburu keburu raib. "Tapi jika ditindak lebih awal, maka dasar hukumnya menjadi lemah. Ini riskan karena penegak hukum menyita aset pihak ketiga. Ini soal kepemilikan. Juga menjadi penting bagaimana jika ada peralihannya," katanya.
KPK sendiri menilai NPWP dapat dijadikan landasan penegak hukum mengejar asset pelaku korupsi dari kalangan swasta maupun pegawai negeri sipil serta penyelenggara negara. Selain NPWP, untuk penyelenggara negara dapat juga digunakan LHKPN sebagai acuan mengejar aset.
Terkait pengelolaan aset yang disita, dia menyarankan jika aset koruptor disita, sebaiknya langsung dilelang sehingga tidak ada penurunan nilai aset. Dia menegaskan manajemen aset itu penting, dan tidak selamanya harus dilelang. Semisal, satu perusahaan, jika menguntungkan, dikelola jadi tidak seharusnya dilelang.
Sebelumnya, persoalan data wajib pajak ini menjadi "sengketa" antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dirjen Pajak. BPK menghendaki akses untuk dapat mengaudit pajak. Atas hal ini, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution menegaskan akan memegang teguh kerahasiaan data wajib pajak. Pihaknya tidak bersedia memenuhi keinginan BPK .
"Mana ada lembaga pemerintah yang tidak mau diaudit. Tapi jangan minta SPT (surat pemberitahuan) orang, itu wilayah rahasia, jangan masuki," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution, pertengahan pekan lalu.
Belakangan, BPK-Dirjen Pajak sepakat membuat nota kesepahaman (MoU) untuk mengatur tata cara pemeriksaan pajak. Namun, MoU itu pun menemui jalan buntu. Pengajuan judicial review (uji materil) UU 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) oleh BPK menjadi ihwal berhentinya pembahasan MoU. Sebaliknya, BPK menilai tak kunjung adanya respon baik dari Menteri Keuangan, menjadi dasar pengajuan uji materil.***
Sumber : Sinar Harapan, 6 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar