Laporan Pengamatan Persidangan
Kasus JiwasRaya
Ke Pengadilan Negeri TIPIKOR Jakarta Pusat
ACARA PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP TERDAKWA
BENNY TJOKROSAPUTRO ( Direktur Utama PT Hanson International Tbk)
HERU HIDAYAT (Komisaris Utama PT Trada Alam
Minera)
JOKO HARTONO TIRTO (Direktur PT Maxima Integra)
HARY PRASETYO ( Mantan Direktur Keuangan PT.
Asuransi Jiwasraya)
HENDRISMAN RAHM ( Mantan Direktur PT. Asuransi
Jiwasraya)
SYAHMIRWAN (mantan Kepala Divisi Investasi dan
Keuangan PT Asuransi Jiwasraya)
DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PEKAN KE 1, KE – 2
DAN KE - 3
A.Pengantar
Good Corporate Governance (GCG) didefinisikan Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai prinsip-prinsip manajemen
perusahaan yang disusun agar perusahaan berjalan secara optimal dalam mencapai
tujuannya sembari memenuhi kebutuhan seluruh kelompok stakeholder tanpa
melanggar hukum (KNKG, 2006). Gagalnya penerapan GCG dapat berdampak buruk bagi
perusahaan, mulai dari rendahnya kinerja hingga runtuhnya perusahaan. Salah
satu kasus nyata gagalnya penerapan GCG yang terjadi dalam waktu dekat ini
adalah skandal yang dialami PT Asuransi Jiwasraya (Persero), salah satu
perusahaan asuransi terbesar di Indonesia.
KNKG merumuskan GCG dengan lima prinsip, yaitu: (1) Transparency: Untuk menjaga objektivitas
dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material
dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders. (2)
Accountability: Perusahaan harus selalu dapat mempertanggungjawabkan
kinerjanya. Untuk itu, perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan
sesuai dengan selalu memperhitungkan kepentingan stakeholders. (3)
Responsibility: Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. (4) Independence: Perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. (5) Fairness:
Perusahaan harus memperhatikan kepentingan stakeholder dan semua orang yang
terlibat didalamnya berdasarkan prinsip kesetaraan dan kewajaran (KNKG, 2006).
Pada tahun 2019 kemarin, PT Jiwasraya terjerat skandal
finansial yang berakibat macetnya ekuitas perusahaan hingga tidak mampu
membayar kewajiban klaim polis JS Saving Plan. Tunggakan polis ini muncul dari
banyaknya nasabah yang menginvestasikan dana mereka di JS Saving Plan dengan
harapan return tinggi karena tawaran jaminan return sebesar 9-13% yang pada
saat itu relatif besar dibandingkan bunga sebesar 5-7% yang ditawarkan deposito
bank. Kepala BPK RI, Agung Firman Sampurna, menjelaskan bahwa penyebab gagal
bayarnya polis asuransi JS Saving Plan disebabkan perusahaan menggunakan dana
dari JS Saving Plan untuk berinvestasi di saham beresiko tinggi.
Dalam hasil audit yang dikemukakan BPK, PT Jiwasraya
kerap melakukan transaksi jual beli saham serta diduga melakukan rekayasa harga
dengan Bank BJB (BJBR), Semen Baturaja (SMBR), dan PT PP Properti Tbk (PPRO)
yang memiliki kinerja saham -39,32%, -74,78%, dan -41,28% secara berurutan pada
tahun 2019* (Noviani, 2020). Ditambah lagi, hasil audit Kantor Akuntan Publik
(KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia atas laporan keuangan PT Jiwasraya
tahun 2017 mengoreksi jumlah laba laporan keuangan interim dari sebesar Rp2,4
triliun menjadi hanya Rp428 miliar. Akurasi dari kedua hasil audit ini tampak
menguat saat Hexana Tri Sasongko, Direktur Utama Jiwasraya, kemudian
mengungkapkan bahwa Jiwasraya memiliki aset perusahaan tercatat hanya sebesar
Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun yang berarti
perusahaan memiliki ekuitas negatif Rp27,24 triliun.
Selain pelanggaran standar-standar akuntansi keuangan
dalam laporan keuangan yang mengakibatkan pengoreksian laporan keuangan oleh
pihak ketiga serta pengelolaan investasi yang kurang tepat, sesungguhnya kasus
skandal keuangan ini dapat diatribusikan terhadap kurang efektifnya tata kelola
perusahaan, terkhusus dari perspektif GCG. Dari kelima prinsip GCG, PT
Jiwasraya gagal menerapkan prinsip accountability, transparency, dan responsibility. Pertama, Jiwasraya
menggunakan dana yang dititipkan nasabahnya melalui JS Saving Plan untuk berinvestasi
di saham perusahaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan hal tersebut,
Jiwasraya tidak memperhitungkan kepentingan stakeholders-nya. Sebaliknya,
prinsip accountability mengharuskan perusahaan untuk selalu memperhitungkan
kepentingan stakeholders dalam setiap keputusan yang diambilnya.
Kedua, Jiwasraya
tidak pernah mengungkapkan kepada nasabah maupun pemerintah penggunaan dari
dana yang dikumpulkan dari JS Saving Plan. Tidak hanya itu, laporan keuangan
Jiwasraya yang diaudit berkali-kali oleh OJK, BPK, hingga KAP PwC Indonesia
selalu menunjukkan kejanggalan dalam pelaporan aset keuangannya. Dua kejadian
ini menunjukkan bahwa Jiwasraya tidak objektif dalam menyajikan laporan
keuangannya dengan tidak menampilkan angka sesungguhnya dalam laporan keuangan
perusahaan serta menahan informasi yang sesungguhnya dibutuhkan para
stakeholders perusahaan. Dengan fakta tersebut, terbukti bahwa Jiwasraya telah
gagal memenuhi kewajiban mereka untuk menyediakan informasi yang material dan
relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders yang
merupakan bentuk kegagalan penerapan prinsip transparency dalam tata kelola
perusahaannya.
Terakhir, Jiwasraya tidak mampu memenuhi klaim polis dari
nasabahnya dan hal tersebut merupakan bentuk tidak terpenuhinya tanggung jawab
perusahaan kepada masyarakat. Tidak hanya itu, penyusutan ekuitas hingga
menyentuh angka negatif akibat berinvestasi di saham berisiko tinggi dapat
dilihat sebagai bentuk gagalnya Jiwasraya dalam mencapai keberlanjutan usaha.
Ditambah lagi, hasil audit BPK menduga perusahaan melakukan rekayasa harga
dalam transaksi saham yang apabila benar, merupakan bentuk ketidakpatuhan
perusahaan pada hukum dan perundang-undangan. Tidak terpenuhinya klaim polis JS
Saving Plan, menyusutnya ekuitas perusahaan hingga mencapai angka negatif, dan
dugaan rekayasa harga dalam transaksi saham perusahaan menunjukkan tujuan utama
prinsip responsibility gagal dijalankan Jiwasraya.
Perusahaan yang tidak menerapkan tata kelola perusahaan
dengan efektif bisa terancam mengalami kegagalan dalam usahanya. PT Jiwasraya,
yang tidak menerapkan prinsip GCG dengan baik dalam perusahaannya, menjadi
pembelajaran bahwa perusahaan dapat jatuh akibat kurang efektifnya tata kelola
perusahaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sangat penting bagi
perusahaan untuk menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik agar terpelihara
keberlanjutan usaha. Selain itu, penting juga sebagai akuntan bahwa prinsip GCG
perlu ditaati dan dipegang teguh, agar tidak lagi terjadi kasus seperti skandal
Jiwasraya ini.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memastikan kerugian negara
dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sebesar Rp 16,81
triliun. Terdiri dari kerugian negara investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun,
dan kerugian negara akibat investasi dari reksadana sebesar Rp 12,16 triliun.
Pihak BPK menggunakan metode penghitungan kerugian negara yang disebut total
loss. BPK menghitung seluruh saham yang dibeli secara melawan hukum. Metode
yang digunakan dalam melakukan perhitungan kerugian negara adalah total loss,
di mana seluruh saham-saham yang diduga dibeli secara melawan hukum dianggap
berdampak.
C. Judul Kegiatan
Acara persidangan tindak pidana korupsi terhadap terdakwa
Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto, Hary Prasetyo, Hendrisman Rahim, Syahmirwan di pengadilan negeri Tipikor Jakarta 17 Juni 2020.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian negara atas dugaan
korupsi ini ditaksir mencapai Rp 16,81 triliun. Kerugian tersebut berasal dari pembelian saham
dan reksa dana selama periode 2008-2018. Rinciannya kerugian negara dari
investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi di
reksa dana sebesar Rp 12,16 triliun.
D. Tujuan Pengamatan
·
Mengetahui
jalannya persidangan Tindak Pidana Korupsi
·
Menambah
pengetahuan dan wawasan dalam bidang hukum
·
Memenuhi
tugas mata kuliah Praktik Peradilan Tindak Pidana Korupsi
E.Jenis Kegiatan
Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas XXXX melakukan pengamatan jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta
Pusat.
F.
Tempat Pelaksanaan Kegiatan
Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat.
G. Waktu Kegiatan
Pengamatan jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor
Jakarta Pusat dilaksanakan pada tanggal
3, 8 dan 17 Juni 2020.
H. Uraian Kegiatan
No. perkara : 589/Pdt.G/2019/PN.JKT.PST
Persidangan terbuka untuk umum Pengadilan Negeri Tipikor
Jakarta Pusat, yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pembacaan dakwaan
dari jaksa penuntut umum terhadap enam orang tersangka.
Susunan peserta yang mengikuti persidangan :
·
Benny
Tjokrosaputro, Heru Hidayat dan Joko Hartono Tirto sebagai terdakwa
·
Rosmina
sebagai hakim ketua majelis,
·
Saefudin
Zuhri sebagai hakim anggota,
·
Susansi
sebagai hakim anggota,
·
Anwar
sebagai hakim anggota,
·
Ugo
sebagai hakim anggota,
·
Sigit
Herman Binaji, sebagai hakim anggota,
·
Titik
Sansiwi, sebagai hakim anggota,
·
Soesilo
AriBowo, Kuasa Hukum terdakwa Heru Hidayat
·
Ardito Muwardi sebagai jaksa penuntut umum.
1.Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum,
hakim ketua majelis memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk menghadapkan
terdakwa ke muka persidangan. Enam Terdakwa datang menghadap ke muka
persidangan dalam keadaan bebas. Atas pertanyaan hakim ketua, terdakwa
menyatakan dalam keadaan sehat serta bersedia mengikuti persidangan dan
penuntutan perkaranya pada hari ini dan ditanyakan identitas para terdakwa
tersebut. Para terdakwa, diminta hakim untuk mendengarkan secara seksama isi
dari dakwaan Jaksa.
2.Atas pertanyaan hakim ketua, para terdakwa
menyatakan bahwa dalam perkara ini didampingi oleh penasihat hukum sesuai pasal
56 ayat 1. Hakim meminta surat kuasa dan surat izin beracara penasihat hukum
mendampingi terdakwa. Selanjutnya hakim ketua memberikan kesempatan kepada
jaksa penuntut umum untuk membacakan surat tuntutannya tertanggal 3 Juni 2020,
yang menyatakan :
Kesatu
Primair :
Bahwa ia terdakwa Benny Tjokrosaputro, bahwa bersama-sama
dengan Heru dan Joko melakukan kesepakatan dengan para petinggi Jiwasraya
mengenai pengelolaan investasi saham dan reksadana milik perusahaan asuransi
plat merah tersebut dan kerjasama ini telah dilakukan sejak 2008 hingga 2018.
Kesepakatan ini dilakukan secara tidak transparan dan akuntabel. Tiga petinggi
Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Hary dan Syahmirwan melakukan pengelolaan
investasi tanpa analisis yang objektif, profesional dan tidak sesuai nota
interen kantor pusat, analisis hanya dibuat formalitas.
Hendrisman Rahim, Hary dan Syahmirwan membeli saham
perusahaan BJBR, PPRO dan SMBR dengan tidak mengikuti pedoman investasi yang
berlaku. Mereka membeli saham melebihi 2,5 persen dari saham perusahaan yang
beredar.
Selain itu, keenam terdakwa dan pihak terafiliasi telah
bekerjasama untuk melakukan transaksi jual beli saham sejumlah perusahaan
dengan tujuan mengintervensi harga. Tindakan goreng saham itu dilakukan pada
perusahaan BJBR, PPRO, SMBR dan SMRU. Menurut Jaksa, bukannya memberikan
untung, aksi itu malah tidak dapat memenuhi likuiditas keuangan Jiwasraya. Para terdakwa mengatur dan mengendalikan 13
manajer investasi untuk membentuk produk reksadana khusus untuk PT. Jiwasraya
yang dikendalikan Joko Hartono. Produk reksadana tersebut berakhir pada
kerugian bagi keuangan Jiwasraya.
Selain itu, Heru, Benny dan Joko turut memberikan uang,
saham dan fasilitas lain kepada tiga petinggi jiwasraya. Pemberian dilakukan
terkait pengelolaan investasi saham dan reksadana di perusahaan tersebut selama
2008-2018.
Perbuatan para terdakwa telah melanggar pasal 11 ayat 2
UU Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, pasal 11 ayat 1 UU Nomor 40
tahun 2014 tentang Asuransi. Pasal 8 ayat huruf b dan c, pasal 11, pasal 13
ayat 1, pasal 14 ayat 1, pasal 15 ayat 1, dan pasal 20 ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 1992 tentang Usaha Asuransi. Terdakwa melanggar sejumlah
aturan Menteri Keuangan dan aturan internal PT. Asuransi Jiwasraya.
Perbuatan tersebut, telah memperkaya diri sendiri dan
korporasi dengan merugikan keuangan negara senilai Rp 16,8 triliun. Heru dan
Benny turut didakwa dengan pasal Pencucian uang.
Perbuatan terdakwa sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 2 ayat (1) jo. pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55
ayat (1) ke – 1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Subsidair :
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal jo. pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 201 tentang Perubahan atas UU Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1)
ke – 1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
3.Hakim ketua
sidang menanyakan apakah terdakwa mengerti isi dan maksud dari dakwaan tersebut,
dan para terdakwa mengerti isi dari dakwaan tersebut dan keberatan dengan isi
dakwaan tersbut.
3) 8 Juni 2020 pukul 09.00 – 13.00, Nota
Keberatan dari Penasehat Hukum terdakwa
Menurut penasehat hukum terdakwa, Heru Hidayat, Soesilo Aribowo,
kasus Jiwasraya masuk dalam ranah hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal, bukan tindak pidana korupsi.
Menurut penasehat hukum tersebut, kasus Jiwasraya bukan perkara
korupsi dan merugikan negara, melainkan risiko dalam pasar modal. Hal ini
tercermin dari surat dakwaan JPU yang hampir 95% isinya terkait masalah pasar
modal. Kresna menyebut, sejak awal dirinya sudah mengatakan bahwa permasalahan
yang menjerat kliennya bukan kasus korupsi, melainkan persoalan pasar modal. Sehingga,
sangat tepat kalau UU yang digunakan adalah UU pasar modal dan OJK.
Penasihat hukum terdakwa Heru Hidayat, Soesilo Aribowo turut
membantah penyebutan eksepsi terdakwa terkait pasar modal sebagai modus
operandi korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya.
Menurutnya, yang namanya modus operandi itu hanya sesaat, suatu
tindak pidana modus operandi sesaat saja, ini kan terdakwa ini, seperti Heru
Hidayat kemudian Joko Tirto itu kan memang pekerjaannya di pasar modal, tidak
ada modus operandi. Soesilo menuturkan, kliennya sebagai Presiden Komisaris PT
Trada Alam Minera, memiliki pekerjaan membuat keputusan di pasar modal.
Sehingga, bila disebut pasar modal merupakan bagian dari korupsi di PT
Asuransi Jiwasraya dinilai tidak tepat. Tindak pidananya enggak pas,
dilakukan sebagai tindak pidana korupsi, nanti kalau seperti itu semua BUMN
yang melakukan go public atau penawaran umum di pasar modal dengan menggunakan
rekening ada modus operandi di situ susah. Oleh karena itu, Soesilo menegaskan
perkara yang menjerat kliennya bukan ranah tindak pidana korupsi. Hal-hal yang
dilakukan kliennya dan terdakwa lain merupakan bagian dari keputusan yang mesti
dikeluarkan dan merupakan kebijakan di pasar modal. Pekerjaan mereka yang ada
di situ memang ada di pasar modal. Yang menjadi poin penting dari apa yang
disampaikan pada intinya menurut kita tetap tidak tepat.
4) 17 Juni 2020 (Sidang Pekan ke 3
atas eksepsi nota keberatan dari penasehat hukum) pukul 09.00 – 13.00
Menurut Jasa Penuntut Umum Ardito Muwardi di depan
majelis hakim, Surat Dakwaan tertanggal 20 Mei 2020 telah secara cermat dan
lengkap menguraikan 7 perbuatan melawan hukum pidana melalui uraian rangkaian
peristiwa perbuatan (materiele handeling) maupun perbuatan materiil (feiten
materiele) yang dilakukan oleh terdakwa HERU HIDAYAT bersama-sama dengan BENNY
TJOKROSAPUTRO, JOKO HARTONO TIRTO yang bekerjasama dengan pihak dari PT.
ASURANSI JIWASRAYA yakni HENDRISMAN RAHIM, HARY PRASETYO dan SYAHMIRWAN.
Menurut JPU, perbuatan melawan hukum pidana yang termuat
dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum merupakan perbuatan melawan hukum yang
sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) yang dilakukan oleh Terdakwa dengan
kualifikasi penyertaan, bukan perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi
(onrecht in potentie). Dan perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa tersebut adalah merupakan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dalil
Penasihat Hukum Terdakwa HERU HIDAYAT pada angka 4 Nota Keberatan adalah keliru
dan tidak berdasar sehingga patut untuk dikesampingkan.
Bukan hanya itu, berbagai eksepsi lain dari kuasa hukum
terdakwa lainnya pun kembali disanggah oleh JPU. Yakni Surat dakwaan yang tidak
cermat karena Direksi PT AJS sudah bertindak secara proper sesuai Anggaran
dasar perseroan, sehingga pertanggungjawabannya adalah secara perdata, bukan
pidana.
"Nota Keberatan (eksepsi) tentang ketidakcermatan dalam
Surat Dakwaan seharusnya mendalilkan tentang kekeliruan dalam pencantuman
kualifikasi unsur delik dari setiap pasal yang didakwakan, cara Terdakwa dalam
melakukan tindak pidana serta penyebutan suatu peristiwa atau keadaan
(circumstances) yang melekat pada tindak pidana yang didakwakan. Lebih lanjut
uraian mengenai Surat Dakwaan tidak cermat adalah meliputi unsur-unsur
perbuatan pidana yang ditentukan undang-undang atau pasal-pasal yang
bersangkutan dilanjutkan dengan mengemukakan fakta-fakta perbuatan yang
didakwakan sesuai dengan unsur-unsur dari pasal yang dilanggar tersebut
Menurut JPU, "Surat Dakwaan Penuntut Umum pada
halaman 153, halaman 154 Dakwaan Kedua, kemudian halaman 156, halaman 157,
halaman 169 Dakwaan Ketiga Primair kemudian halaman 179, 180, halaman 183 dan
halaman 184 Dakwaan ketiga Subsidiair telah menguraikan secara cermat, jelas
dan lengkap terkait kejahatan asal (predicate crime) Tindak Pidana Korupsi yang
dilakukan oleh Terdakwa HERU HIDAYAT dalam melakukan kejahatan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Penerapan Pasal 69 U.U Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (U.U Nomor 8 Tahun 2010) untuk mencegah pelaku tindak
pidana dan kroninya menikmati hasil tindak pidana (proceed of crime).
"Menyatakan bahwa
Surat Dakwaan Nomor : PDS- 11/M.1.10/Ft.1/05/2020 tanggal 20 Mei 2020 yang
telah kami bacakan pada persidangan hari Rabu tanggal 3 Juni 2020 telah
memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a
dan b KUHAP. Karena itu, majelis hakim diminta untuk tetap fokus dalam
menangani perkara. Termasuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap para terdakwanya.
Menurut JPU, menyatakan
bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, serta melanjutkan
pemeriksaan terhadap perkara. JPU menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap perkara
dilanjutkan.
5) Hakim menyatakan bahwa eksepsi penasehat hukum
ditolak, dan dilanjutkan dengan pemanggilan saksi-saksi
I.Saran
Kegiatan kunjungan ke Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta
Pusat guna mengikuti jalannya persidangan diharapkan harus lebih sering
dilakukan oleh mahasiswa Magister Akuntansi sebagai sarana untuk menambah
pengetahuan. Menurut saya kegiatan ini sangat bermanfaat untuk mempelajari dan
memperhatikan tata cara persidangan. Dan kegiatan ini saya harapkan dapat
dikordinasikan dengan baik oleh pihak Magister Akuntansi Universitas Trisaksi.
J. Penutup
Laporan pengamatan ini penulis susun setelah melakukan
pengamatan sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing atas ilmu yang telah penulis
dapatkan, kepada bunda dan keluarga atas segala Doa untuk penulis dan
teman-teman yang seperjuangan atas semua motivasi yang diberikan kepada
penulis. Penulis berharap laporan pengamatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar