Selasa, 06 Mei 2008

Hari Bangkit PII ke-61…………………

4 Mei 2008

Hari minggu, 4 Mei 2008, saya berangkat ke Mahkamah konstitusi di Medan Merdeka Barat Jakarta pusat. Di sana sedang dilaksanakan peringatan Hari Bangkit organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tanggal 4 Mei 1947. Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

Acara HARBA PII diisi dengan orasi dari ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiq ,yang juga merupakan alumni PII,; Wakil ketua MPR, AM Fatwa, yang juga merupakan alumni PII,; Sedangkan diantara alumni PII yang terlihat penuh apresiasi terhadap PII adalah Sastrawan puisi,Taufik Ismail, dalam penyampaiannya dalam bentuk puisi.

Sungguh menarik apa yang disampaikan para tokoh itu dalam memperjuangan idealisme PII sejak tahun 1947. Banyak nilai-nilai heroisme yang di sampaikan, seperti melawan penjajahan Belanda dan melawan gerakan komunisme. Saya pun pernah merasakan memperjuangkan idealisme PII , walaupn situasi, kondisi dan arah perjuangannya berbeda dengan angkatan 1947 – 1994. Pelajar Islam Indonesia didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.

Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri "teklekan".

Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodiningratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947. Begini sekilas sejarah singkat bedirinya PII. Tentunya akan berbeda kontek dan arah perjuangan pada periode aktivitas saya di PII.

Saya mengenal PII dari bapak saya kebetulan juga dulu aktivitis PII. PII yang kukenal pertama kali adalah PII Bogor, saat itu saya masih SMU, dan bapak meminta saya tinggal di sekretariat PII. Katanya untuk mengenal organisasi. Di secretariat itu saya mengenal Erik, Asep, Asnawi, dan Tajri. Disitulah pertama kali aku mengenal lingkungan yang penuh diskusi, memahami perbedaan dan mengajarkan akan nilai-nilai idealisme. Dan pengalaman pertama kali menjadi pimpinan sidang dan melakukan audensi ke tokoh-tokoh masyarakat pada acara Basic Training tahun 1995 di Cicalengka Bandung. Ada juga kegiatan perkampungan kerja pelajar (PKP) di Desa Sukawening, Garut. Di acara tersebut kami tinggal di rumah-rumah penduduk dan belajar banyak dari kehidupan pedesaan.
Setelah aktif di berbagai kegiatan PII di Bogor maupun forum Jawa Barat, sayapun diberikan tanggung jawab sebagai ketua umum PII Bogor. Forum-forum Jawa Barat seperti Rapat Pimpinan Wilayah, Rapat Pleno pun sering saya ikuti yang diikuti berbagai daerah di Jawa Barat, membahas persoalan kepelajaran di Jawa Barat. Dan di forum tersebut pertama kalinya saya menyukai seseorang (ssst…cukup….private…). Saat itu keberadaan PII Bogor cukup diakui oleh lingkungan eksternal, seperti lembaga pemerintah, LSM maupun organisasi masa seperti HMI, KAMMI, dsb. Pergerakan kami pun di himpun dalam GEMUIS.

Tanggung jawab sebagai pengurus di Bogor berlanjut menjadi instruktur pelatihan, dengan bekal pendidikan pemandu dari PII, akhirya saya diberikan kesempatan memberikan pelatihan kepada pelajar-pelajar yang ada di daerah terpencil, …mereka sangat berantusias menerima kedatangan kami.

Walaupun di SMU saya mengikuti 4 organisasi seperti OSIS, pramuka, paskibra dan DKM sekolah, tetapi yang benar-benar menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai perbedaan adalah di PII.


Setelah selesai masa kepengurusan di PII Bogor, sejak tahun 2001 saya di berikan amanah di Pengurus Wilayah Jawa Barat sebagai ketua bidang Kaderisasi. Bidang yang merupakan jantung organisasi dan memiliki beban untuk menjalankan konsep pelatihan yang terstruktur di Jawa Barat. Terlebih budaya daerah Jawa Barat yang tergolong pluralis Sehingga saya harus berpikir keras untuk membuat konsep pengembangan SDM yang mengintegrasikan potensi SDM daerah yang berbeda-beda. Karena saya kuliah di Bogor saat itu dan sekretariat PII Jawa Barat di Bandung, hanya sabtu minggu saya pergi ke Bandung. Sekretariat itu ada di daerah Pungkur.


Terkadang konflik internal kepengurusan seringkali terjadi dan terutama dari pengurus – pengurus daerah di Jawa Barat. Dan terkadang pula nostalgia ketika aktif di kepengurusan PII Bogor terulang kembali. Memang lebih terasa perjuangannya ketika aktif di kepengurusan daerah, karena langsung bersentuhan dalam pembinaan pelajar.

Tahun 2003 – 2008, saya diberikan tiga tanggung jawab sebagai Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) di bidang ta’lim, bendahara dan Litbang. Sebagai bidang ta’lim tentunya mencoba membangun PII dari sisi keislaman. Sebagai wakil bendahara, membuat laporan keuangan setiap transaksi dan membuat konsep pencarian dana. Sedangkan di Litbang, membantu membuat konsep Balanced Scorecard di PII. Walau terkadang konsep-konsep yang disampaikan berbenturan dengan realita yang ada.
Pengalaman menghadiri muktamar nasional, forum pertanggung jawaban pengurus besar dan pemilihan ketua umum, yang diselenggarakan di Maluku, merupakan pengalaman yang berharga. Di sana banyak informasi mengenai kondisi di masing-masing propinsi dan tentunya dengan penyampaian yang khas.

Itulah pengalaman singkat saya berstruktur di PII…walaupun banyak hal yang menarik di PII yang belum saya sebutkan di sini. Walaupun hanya sedikit sumbangsih yang saya berikan ke PII, tetapi setidaknya saya telah mengenal PII.

Tidak ada komentar: