Selasa, 13 Oktober 2009

Presentasi audit penjualan dan pembelian

Minggu, 11 oktober 2009 2 kelompok telah mempresentasikan tentang audit siklus penjualan dan penerimaan kas serta audit siklus pembelian dan pengeluaran kas.

kelompok 1 : penjualan dan penerimaan kas terdiri atas :
AhMaD RiFQi
JoKo SusiLo
YoHanEs TriaTmOko
NurAini
Kelompok 2 : pembelian dan pengeluaran kas
Deni Purwanto
Rochaeni
Viola
Esi

Diskusi cukup menarik, dan dilanjutkan diskusi kasus pembelian untuk semua kelompok.

Berikutnya akan di bahas mengenai audit aktiva tetap....untuk kelompok berikutnya siap-siap yach tuk presentasi audit siklus produksi....

Minggu, 13 September 2009

Tugas Presentasi kelompok Auditing II

Untuk : Rekan-rekan Mahasiswa Program Kelas Karyawan (PKK) kelas Meruya Universitas Mercubuana Mata kuliah Auditing II

Di awal perkuliahan, saya lakukan proses expectasi, kontrak belajar, Satuan acara perkuliahan dan materi pertemuan 1 (sampel audit untuk pengujian). Material (slide maupun modul) mudah-mudahan bisa membantu memahami materi tersebut. Presentasi minggu depan saya bagi menjadi 9 kelompok

Tugas Presentasi kelompok untuk setiap pertemuan :
Kelompok 1 : Audit terhadap siklus Pendapatan (penjualan) dan Penerimaan kas
Kelompok 2 : Audit terhadap siklus Pembelian dan Pembayaran
Kelompok 3 : Audit terhadap siklus Produksi
Kelompok 4 : Audit terhadap siklus Penggajian dan kepegawaian
Kelompok 5 : Audit terhadap siklus Persediaan dan penyimpanan
Kelompok 6 : Audit terhadap siklus modal dan investasi
Kelompok 7 : Audit terhadap siklus kas dan investasi
Kelompok 8 : Penyelesaian audit
Kelompok 9 : Jasa assurance lainnya

Kerangkanya adalah :
1. Konsep dasar
2. Contoh Penerapannya

Waktu presentasi maksimal 15 menit.....

Selamat bekerja, selamat menikmati liburan panjangnya dan selamat menikmati sisa puasanya yach......

Budi Prayogi

Kamis, 13 Agustus 2009

Kasus Sunbearn Corporation : Menyajikan ulang hasil keuangan

Sumbearn Corporation menyajikan ulang hasil keuangan untuk tahun 196,1997, dan kuartal pertama tahun 1998 berdasarkan audit ekstensif yang dilakukan komite audit dan dua kantor akuntan publik. Audit khusus tersebut menemukan bahwa laporan keuangan yang telah diterbitkan sebelumnya melebihsajikan kerugian untuk tahun 1996, melebihsajikan laba untuk tahun 1997, dan mengurangsajikan kerugian untuk kuartal pertama tahun 1998. Sumbearn melaporkan bahwa, untuk periode tertentu, pendapatan telah diakui pada periode yang tidak tepat, sebagian disebabkan praktek penagihan "tagih dan tahan" (bill and hold) yang dilakukan perusahaan pada periode berjalan untuk barang yang dikirimkan pada periode berikutnya. Perusahaan juga membukukan penjualan dengan jumlah signifikan yang diberikan pada pelanggan dengan persyaratan yang liberal yang bahkan sebenarnya bukan merupakan penjualan yang absah, tetapi lebih sebagai konsinyasi atau penjualan bergaransi. Pada tahun 1997, pendapatan disajikan kembali dari $ 1.186 juta ke $ 1.073 juta, dan laba dikurangi dari $ 123,1 juta dan $ 52,3 juta. Pelaporan keuangan yang tidak biasa ini telah membuat direktur utama Sunbeam Al Dunlap mengundurkan diri. Tahun 2001, SEC menuntut lima bekas ekesekutif Sunbeam dan Andersen LLP,a atas pekerjaan aduitnya untuk Sunbeam, setuju untuk membayar $ 110 juta untuk menyelesaikan tuntutan hukum atas kecurangan akuntansi di atas.

Kasus Lucent Technologies, Inc : Pengakuan Pendapatan yang menimbulkan penyajian ulang pendapatan yang telah dilaporkan

Lucent Tecnologies, Inc., pembuat peralatan telekomunikasi yang pernah memiliki reputasi sangat baik, menyajikan ulang pendapatannya, yaitu turum sebesar $ 679 juta untuk tahun fiskal yang berakhir pada tanggal 30 september 2000. Penyajian ulang mencakup kredit sebesar $ 199 juta yang ditawarkan tim penjualan pada pelanggan, $ 28 juta dari pengakuan penjualan sistem yang belum seluruhnya dikirimkan, dan $452 juta dari penjualan peralatan kepada distributor yang belum digunakan atau diserahkan pada pelanggan. Hal ini terjadi akibat tekanan dari penjualan menjanjikan kredit pada pelanggan dan mempermainkan saluran distribusi. Dewan komisaris memecat McGinn dan banyak pemegang saham mengajukan tuntutan hukum pada perusahaan.

Minggu, 09 Agustus 2009

Contoh Kasus Korupsi dan Fraud : Penjualan dan Persediaan

31 October 2008 — muxonated Seorang direktur penjualan dari sebuah perusahaan produk elektronik tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya ketika ditanyakan mengenai
adanya keanehan dalam data-data penjualan.

Setelah dilakukan investigasi, ternyata mantan direktur tersebut terlibat dalam proses penjualan yang ternyata palsu. Modus pola fraud dilakukan dengan:
Kuitansi penjualan atas nama pembeli tertentu dibuat
Tagihan palsu dikeluarkan
Barang persediaan dikeluarkan dari gudang penyimpanan seolah-olah akan dikirimkan ke pembeli (barang tersebut kemudian dijual sendiri oleh direktur keuangan dan uangnya masuk ke kantong pribadi)
Penjualan dicatat dalam sistem akuntansi dan beberapa waktu kemudian dihapuskan sebagai ‘non-inventory return credits’ atau retur penjualan non-persediaan.

SAMPLING AUDIT UNTUK PENGUJIAN PENGENDALIAN DAN GAMBARANNYA PADA PENERAPANNYA

Oleh: Budi Prayogi,SE,MM
Referensi :
 Arens, Alvin & Loebbecke, JK, Auditing on integrated Approach,Prentice Hall
 Messier, Glover & Prawitt, Auditing & Assurance Services A Systematic Approach.
 Standar Profesional Akuntan Publik, 2001, Ikatan Akuntan Indonesia


Pada bab ini akan membahas konsep-konsep sampling dalam perencanaan, prosedur penentuan jumlah sampling, penentuan sampling bukti pengujian pengendalian dan penentuan sampling bukti pengujian substantive.

A. KONSEP-KONSEP SAMPLING DALAM PERENCANAAN
Sampling Audit
Standar audit mendefinisikan sampling audit (audit sampling) sebagai penerapan prosedur audit terhadap kurang dari seratus persen unsure dalam suatu saldo akun atau kelompok transaksi dengan tujuan untuk menilai beberapa karakterisrik saldo akun atau kelompok transaksi tersebut (SA seksi 350.01). Fakta bahwa audit menggunakan sampling juga diberitahukan kepada pengguna laporan keuangan dengan kalimat “suatu audit meliputi pemeriksaan, atas dasar pengujian” yang terdapat pada paragraf ruang lingkup laporan audit.

Risiko sampling
Risiko sampling adalah kemungkinan bahwa sampel yang telah diambil tidak mewakili populasi, sehingga sebagai akibatnya, atas dasar sampel tersebut auditor menarik kesimpulan yang salah atas atas saldo akun atau kelompok transaksi. Karena risiko sampling, auditor menghadapi kemungkinan bahwa sampling dapat mengakibatkan salah-satu dari kekeliruan keputusan tersebut : (1) memutuskan bahwa populasi yang diuji tidak dapat diterima, padahal sebenarnya dapat, dan (2) memutuskan bahwa populasi yang diuji dapat diterima, padahal sebenarnya tidak dapat. Dalam istilah statistic, kekeliruan ini dikenal tipe I dan tipe II. Secara formal, kekeliruan tipe I dan II dapat didefiniskan sebagai berikut :
• Risiko keliru menolak (Risk of Incorrect rejection) tipe I.
Pada pengujian pengendalian internal, merupakan resiko mengambil kesimpulan, berdasarkan hasil sampel, bahwa pengendalian tidak berjalan secara efektif, padahal pada kenyataannya pengendalian berjalan dengan efektif. Saat auditor mengevaluasi tingkat keandalan pengendalian dalam konteks audit laporan keuangan, risiko ini dikenal sebagai risiko ketergantungan yang rendah ( risk of underreliance) atau risiko penentuan tingat resiko pengendalian yang terlalu tinggi (risk of assessing control risk too high).
• Risiko Keliru menerima (Risk of incorrect acceptance) tipe II.
Dalam pengujian pengendalian, merupakan risiko mengambil kesimpulan, berdasarkan hasil sampel, bahwa pengendalian beroperasi secara efektif, padahal kenyataannya tidak efektif. Jika auditor mengevaluasi tingkat keandalan pengendalian dalam konteks audit laporan keuangan, risiko ini dikenal sebagai risiko ketergantungan yang berlebih ( risk of overreliance) atau risiko penentuan tingkat resiko pengendalian yang terlalu rendah (risk of assessing control risk too low).
Sampling audit juga menyangkut risiko nonsampling. Risiko nonsampling adalah risiko kekeliruan auditor dan timbul dari kemungkinan auditor mengambil sampel dari populasi yang salah untuk pengujian asersi, tidak dapat menemukan salah-saji material pada saat penerapan prosedur audit, salah menerjemahkan hasil audit. Jika dengan sampling statistic, auditor dapat mengkuantifikasi dan mengendalikan resiko sampling, tidak ada metode sampling yang dapat digunakan auditor untuk mengukur risiko sampling, tidak ada metode sampling yang dapat digunakan auditor untuk mengukur risiko nonsampling. Ketidakpastian yang berkaitan dengan risiko nonsampling ini dapat dikendalikan dengan pelatihan yang cukup, perencanaan yang memadai dan supervise yang efektif.

Faktor penting dalam menentukan ukuran sampel

Tingkat keyakinan
Anda dapat menetapkan tingkat resiko sampling yang dapat diterima dengan mempertimbangkan jumlah keyakinan yang akan ditempatkan dalam pengujian dan konsekuensi dari kekeliruan. Sebagai contoh, auditor menetapkan risiko sampling untuk suatu penerapan sampling tertentu sebesar 5%, yang menimbulkan tingkat keyakinan 95 %. Tingkat keyakinan dan resiko sampling berhubungan dengan ukuran sampel: semakin tinggi tingkat keyakinan dan semakin rendah risiko sampling.
Kekeliruan yang dapat diterima dan diperkirakan
Bila tingkat keyakinan yang diinginkan telah ditetapkan, ukuran sampel yang memadai ditentukan terutama oleh seberapa besar kekeliruan yang dapat diterima melebihi kekeliruan yang diperkirakan. Semakin kecil perbedaan antara kedua variable tersebut, semakin tepat seharusnya hasil sampling, dan oleh karena itu semakin besar ukuran sample yang diperlukan.

B. PROSEDUR PENENTUAN SAMPLING
Saat auditor memilih sampel, mereka bisa mengambil paling tidak dua jalur, jalur pertama mengarah ke sampel terarah (directed sample); yang kedua merupakan sampel acak (random sample).
Sampel terarah atau sampel bertujuan digunakan bila auditor mencurigai adanya kesalahan serius atau manipulasi dan ingin mendapatkan bukti untuk mendukung kecurigaan mereka atau menemukan sebanyak mungkin hal yang mencurigakan. Proses ini tidak ada kaitannya dengan sampling statistik, jadi murni merupakan pekerjaan mendeteksi.
Sampel acak berupaya mencerminkan populasi tempat diambilnya sedekat mungkin. Bila auditor mengambil sampel acak, mereka mencoba mengambil gambar, berupa miniature,dari catatan atau data dalam jumlah yang sangat besar yang membentuk populasi tempat sampel di pilih. Makin besar sampel, makin dekat sampel tersebut mencerminkan populasi. Dalam bahasa audit, sampel tersebut kemudian dinamakan “representatif” atau mewakili.
Sampling statistik memungkinkan auditor mengukur risiko pengambilan sampel- yaitu risiko bahwa suatu sampel tidak mencerminkan populasi. Untuk mengukur risiko tersebut secara statistic maka pemilihan sampel tersebut haruslah acak.
Sampling nonstatistik tidak memungkinkan auditor untuk mengukur risiko pengambilan sampel secara obyektif, karena setiap unit populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Namun, sampling non statistic bisa bernilai untuk rancangan sampling terarah atau bentuk lain dari sampling menggunakan pertimbangan.
Adapun langkah-langkah penerapan sampling atribut sebagai berikut :
A.Perencanaan
Langkah 1:
Menetapkan tujuan pengujian, standar audit mengharuskan penerapan sampling direncanakan dengan baik dengan mempertimbangkan hubungan sampel dengan tujuan pengujian. Sebagai contoh, pada proses pendapatan, penagihan dilakukan setelah barang dikirimkan. Oleh karena itu, tidak ada transaksi penjualan yang harus di catat sampai ada dokumen pengiriman yang telah diotorisasi dengan tepat. Auditor dapat menguji melalui sampel apakah faktur penjualan sudah dicatat secara memadai dengan memeriksa dokumen pengirimannya.
Langkah 2 :
Mendefiniskan populasi sampling. Seluruh atau sebagian unsure-unsur yang terdapat pada kelompok transaksi merupakan populasi sampling. Sebagai contoh, misalkan auditor akan memeriksa efektivitas pengendalian yang dirancang untuk memastikan bahwa pengiriman ke pelanggan telah ditagih, yaitu dengan menguji apakah seluruh pengiriman, pada kenyataannya telah ditagih. Jika auditor menggunakan populasi faktur penjualan sebagai populasi sampling, auditor tidak akan dapat mendeteksi barang yang sudah dikirim, tetapi belum tertagih, karena populasi faktur penjualan merupakan penjualan yang telah ditagih. Pada contoh ini, populasi sampling yang benar untuk menguji asersi kelengkapan kelengkapan adalah populasi seluruh barang yang telah terkirim yang didokumentasikan dalam dokumen pengiriman.
Langkah 3 :
Menentukan ukuran sampel.
Masukan utama dalam menentukan ukuran sampel adalah tingkat keyakinan yang diinginkan, tingat penyimpangan yang dapat diterima, dan tingkat penyimpangan populasi yang diperkirakan.

Pelaksanaan
Setelah aplikasi sampling direncanakan, auditor melaksanakan tahap-tahap berikut :
Langkah 4 :
Pemilihan unsur sampel
Standar audit mensyaratkan bahwa unsur sampel harus dipilih sedemikian rupa sehingga sampelnya dapat diharapkan mewakili populasi. Oleh karena itu, semua unsure harus memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih.
Langkah 5 :
Pelaksanaan Prosedur Audit
Setelah unsur sampel dipilih, auditor melaksanakan prosedur audit yang telah direncanakan. Melanjutkan contoh terdahulu tentang pengujian kelengkapan transaksi penjualan, auditor akan memeriksa paket faktur penjualan untuk mengetahui keberadaan dokumen pengiriman yang mendukung setiap faktur penjualan. Jika dokumen pengiriman ada, auditor akan menyimpulkan bahwa pengendalian telah dilaksanakan secara memadai. Jika dokumen pengiriman tidak ada, unsur sampel tersebut dianggap sebagai penyimpangan terhadap prosedur pengendalian.
Evaluasi
Langkah 6 :
Menghitung tingkat penyimpangan sampel dan tingkat penyimpangan tertinggi yang dihitung.
Setelah menyelesaikan prosedur-prosedur audit, auditor membuat ikhtisar penyimpangan untuk setiap pengendalian yang diuji dan mengevaluasi hasilnya. Sebagai contoh, jika ditemukan 2 penyimpangan dalam sampel yang berisi 50 unsur, tingkat penyimpangan sampel adalah 4 % ( 2:50).
Langkah 7:
Menarik kesimpulan akhir
Untuk menarik kesimpulan atas pengujian pengendalian pada penerapan sampling, auditor membandingkan tingkat penyimpangan yang dapat diterima dengan tingkat penyimpangan tertinggi yang dihitung. Jika tingkat penyimpangan tertinggi yang dihitung lebih rendah dari tingkat penyimpangan yang dapat diterima, auditor dapat menyimpulkan bahwa pengendalian dapat diandalkan. Jika tingkat penyimpangan tertinggi yang dihitung melebihi tingkat penyimpangan yang dapat diterima, auditor harus menyimpulkan bahwa pengendalian tidak berjalan pada tingkat yang dapat diterima.

C. CONTOH PENERAPAN SAMPLING
Don Jones, staf yang bertanggungjawab untuk audit Calabro Paging Services, mengembangkan pemahaman atas proses pendapatan Calabro dan telah memutuskan untuk mengandalkan beberapa pengendalian tertentu untuk mengurangi risiko pengendalian di bawah maksimum. Jones akan melakukan pengujian untuk sepanjang tahun dan telah memutuskan bahwa populasi telah lengkap. Bagian berikut merupakan dokumentasi perencanaan sampling yang dibuat jones.
Langkah 1 :
Tujuan pengujian adalah untuk menentukan apakah proses pendapatan Calabro telah berjalan sesuai dengan dokumentasinya.
Langkah 2 :
Untuk penerapan sampling, Jones memutuskan untuk mengendalkan tiga pengendalian dalam proses pendapatan Calabro. Ketiga prosedurnya sebagai berikut :
1. Tanpa Persetujuan kredit untuk penjualan dan servis di otorisasi dengan benar
Staf departemen kredit Calabro memeriksa kemampuan kredit dari setiap pelanggan baru dan berdasarkan evaluasi tersebut menetapkan batas kredit.
Penyimpangan dalam pengujian ini didefinisikan sebagai kelalaian departemen kredit Calabro dalam mengikuti prosedur perstujuan kredit, baik untuk pelanggan baru maupun lama
2. Penjualan tidak akan dicatat tanpa adanya perjanjian penjualan dan sewa yang telah disetujui. Salah-satu pengendalian dalam proses pendapatan Calabro adalah bahwa penjualan tidak akan dicatat tanpa adanya perjanjian penjualan dan sewa yang dikirimkan ke departemen penagihan. Untuk pengendalian ini, penyimpangan yang didefinisikan sebagai ketiadaan perjanjian penjualan atau sewa yang disetujui.
3. Perjanjian penjualan dan sewa diberi harga yang pantas.
Pengendalian pada proses pendapatan Calabro diantaranya adalah penjualan alat perantara harus menggunakan daftar harga yang telah diotorisasi. Penyimpangan dalam kasus ini adalah penggunaan harga alat perantara yang tidak diotorisasi untuk biaya akses atau sewa yang tidak benar.
Langkah 3
Tabel di bawah ini menggambarkan keputusan Jones untuk setiap parameter dalam penentuan ukuran sampel.

Jumat, 17 April 2009

Kamis, 2 April 2009

Kamis, 2 April 2009
Pukul 04.00 WIB saya terbangun dan Hari ini juga saya coba usahakan puasa sunnah kamis. Setelah makan, saya langsung wudlu, mengerjakan shalat tahajjud 2 rakaat dan membaca alquran satu lembar. Setelah itu langsung ke mesjid untuk menunanikan shalat subuh. Aktivitas yang membuat diri ini lebih tenang. Setelah itu saya mendengarkan trijaya FM, tadinya seh mau olahraga, tapi takut puasa ga kuat. Langsung mandi dan menonton berita, sambil berbincang-bincang sama istri.

Dalam perjalanan ke kantor, saya mampir ke mizan amanah, biasalah bayar zakat, kebetulan saya memililih panti asuhan itu karena panti asuhan itu memiliki program yang jelas dan mengena kepada untuk perkembangan anak yatim piatu. Ya sayanglah klo dana kita diperuntukkan hanya sebaatas mengisi kekosongan perut. Walalupnm perlu juga seh kasih ke orang-orang itu.

Sampailah saya kekantor, seperti biasa membuat rencana, ada beberapa rencana hari ini diantaranya menemani tim medis menghadapi SGS untuk mengclearkan temuannya.


Nambah kelucuan lagi neh...saya kelupaan kalau hari ini saya puasa, saya minum dan makan makanan yang di sajikan sampai habis, dan baru tersedasarkan setelah semua makanan di habiskan. (he3x....)

Setelah itu saya melakukan verifikasi terhadap temuan tersebut, ada beberapa yang close. Cara melakukan closingnya mengikuti cara-cara auditor luar tersebut (ada-ada aja yach...dasar tukang contek).

Rabu, 1 April 2009

Rabu, 1 April 2009
Hari ini saya tidak shalat subuh berjamaah di masjid, Saya baru bangun tidur pukul 05.00, padahal shalat subuh itu banyak manfaatnya, diantaranya kesempatan bersilaturahmi dengan warga sekitar. Maklumlah, saya pulang ke rumah biasanya abis waktu isya, jadinya tak bisa ketemu dengan mereka. Setelah shalat subuh, saya langsung berolahraga, lari-lari kecil di mesjid alam sutera. Kira-kira pukul 06.45 WIB, saya langsung menuju kantor. Jenuh juga jadi orang kantoran, harus berangkat pagi-pagi sekali, tetapi saya bersyukur sama Allah, masih diberikan kesempatan untuk mengimplementasikan ilmu yang saya dapat di kampus dulu. Dan terlebih kalau mengingat banyak orang yang tidak diberikan kesempatan untuk berkarya.
Sampailah di kantor pukul 08.00 WIB, langsung membuat rencana kerja hari ini, ada beberapa agenda kerja hari ini : yang pertama adalah mencari referensi berkaitan dengan audit. Walapun masih bentrok dengan permintaan dari manajemen, jadinya prioritas kerja itu belum terlaksana. Hari ini saya melakukan verifikasi terhadap Non Conformity (NC) dari komite medis.
Hari ini juga ada syukuran kebidanan di lantai 3, ruangan sekarang sangat bagus dan terlihat sangat artistick. Dengan termalu-malu kami ikut makan, walaupun tidak ada undangannya, ga tau malu gua yach (he3x....).

Selasa, 07 April 2009

Buat istriku...

Bu, Kita harus berbeda dengan orang lain dalam kebaikan. Orang lain duduk kita sudah harus berjalan, orang lain berjalan kita sudah harus berlari, orang berlari kita sudah tidur, orang lain tidur kita sudah bangun.

Jangan sedikitpun berhenti berbuat baik sampai soal niat. Kita tidak boleh lalai karena kita tidak tahu kapan Allah mencabut nyawa kita

Selasa, 31 Maret 2009

Curhat aja...ga penting...

Pukul 04.15 WIB, kumulai lagi giatkan shalat tahajjud dan shalat berjamaah di mesjid dan mendengarkan siraman Motivasi dari bapak supardi lee di trijaya FM, dan masih sempat menonton berita perkembangan pemilu. Sehabis sarapan mie goreng (nostalgia dulu waktu kos he3x..) saya langsung cabut dari kantor.
Aktivitas kerja hari ini mengkonfirmasi temuan dari auditor ke luar ke unit medis, alhamdulillah telah selesai, setidaknya saya cukup lega bisa menyelesaikannya. Hari ini mencari referensi mengenai perkembangan auditor, di tambahkan di slide, supaya lebih menarik dan mudah di cerna.
Dan juga menambahkan beberapa kasus mengenai kecurangan di perusahaan-perusahaan lokal maupun internasional.

Sedangkan temenku yang satu itu, sedang sibuk menyelesaikan notulensi audit dan sekaligus menawarkan bisnisannya yang baru, bisnis susu. Katanya seh harganya lebih murah di bandingkan dengan perusahaan lain. Bagian dari strategi marketing, jika produknya sama, ya bermain di harga maupun service.

Udah dulu ah curhatan hari ini...mau siap-siap pulang kerja neh...

Senin, 30 Maret 2009

Belajar Puasa

Hari ini saya coba menghidupkan aktivitas nabi Muhammad SAW, salah-satunya puasa senin kamis. Pukul 04.15 pagi hari saya sudah bangun, dan kumulai dengan puasa.

Alhamdulillah, dengan puasa membuat saya lebih tenang, walaupun bukan berarti tenang dari berbagai dosa.
Kalau dilihat, ternyata tokoh-tokoh yang ikhlas berjuang., seperti M. Natsir, melakukan aktivitas puasa. Menurut beliau, bahwa puasa bisa menghidupkan hati nurani. Dengan hidupnyan hati nurani, bisa mempertajam akal pikiran. Dan dengan akal pikiran, bisa menyelesaikan segala persoalan kehidupan.

Minggu, 29 Maret 2009

lagi jenuh neh,....

Entahlah, akhir-akhir ini kok jenuh banget kerja...selalu ga happy dengan kerjaan sekarang...
Bukan ga ada aktivitas, malah dari pagi tadi udah keliling tanyain proggres audit ke bagian medis and sekalian cari referensi tentang audit.

Jumat, 27 Maret 2009

Kematian...

Hari ini gak terlalu gairah tuk kerja..apa karena besok weekend yach...sebenarnya banyak rencana kerja. Apa karena meninggalnya anakku, anindya ? entahlah...
Yang jelas tadi pagi terjebak macet, karena situ gintung atau warga ciputat sedang mendapatkan musibah. Banyak korban yang meninggal akibat tanggul situ gintung yang jebol, sampai sore ini di detik.com tercatat 52 orang. Kok bisa Jebol yach ?
Mereka kehilangan keluarga, orang-orang yang dicintai maupun harta...dalam bukunya psikologi kematian, sesungguhnya kematian akan hadir kepada kita, tidak mengenai usia, jabatan maupun lokasi.
Siapa sangka istri saya yang seorang bidan dan sering mengkonsultasikan kandungannya ke rumah sakit terkenal,berstandar internasional dan dokter yang terkenal sangat berkompeten, juga harus keguguran 6,5 bulan di dalam kandungan!!!!!!.
Sehebat apapun diri kita, sekaya apapun kita...maut akan menjemput dan kita harus ikhlas..dan mungkin mereka yang meninggal akan lebih bahagia hidup di sana....bukankah kematian merupakan nasehat yang paling baik buat kita...mengikis segala arogansi, ...dan bukankah kehidupan sebenarnya di alam sana...kehidupan abadi...
Semoga yang ditinggalkan diberikan nilai-nilai hikmah..

Rabu, 25 Maret 2009

pencarian kasus

Hari ini saya coba buat beberapa contoh kasus audit..mulai dari audit manajemen hingga fraud audit. Lumayan lah..kasus-kasusnya cukup menarik, mulai dari kasus penjualan palsu, penarikan uang ke rekening pribadi ataupun kolusi sistem tender dengan bagian pembelian. Sebenarnya banyak kasus yang sangat menarik. Terlebih dari kasus yang bagus dari PWC. Selain menambah pengetahuan, sekaligus sebagai bahan ajar nanti buat mahasiswaku. Sebenarnya banyak hal
Setelah diperdalam, ternyata sangat menarik, ternyata banyak yang saya tinggali memperdalam pengetahuan ini, dikarenakan kesibukan membuat situs online.
Hari ini saya verifikasi terhadap temuan di X, sekaligus perpisahan, dikarenakan masa kontraknya telah selesai..

Selasa, 24 Maret 2009

kenangan tuk anindya Ihsani Puteri

Ketika istriku telah dinyatakan positif mengandung aku sangat bahagia sekali, ku jaga hati-hati ..kemanapun ...aku sangat mendambakan kehadiranmu...sudah 6,5 bulan ananda ada di kandungan mamamu..kini, tanggal 17 maret 2009 anindya di lahirkan dan saat itu juga anindya wafat..
Maafkan ayah dan ibumu ini...jika kami tidak menjagamu dengan baik..mungkin Allah sayang sama anindya...Allah ingin cepat menempatkan anindya di surga...Ingin Anindya menjadi puteri yang tak ternoda oleh dosa-dosa...

kangen jadi instruktur dan curhatan lainnya....

Hari ini seharian pelatihan audit di RS puri indah. Lumayan lah mengingat kembali materi tentang audit, sekalian mengasah otak ku. Enak sekali kayaknya jadi pembicara, pengen banget neh jadi instruktur lagi..mengulang masa lalu ketika jadi instruktur di PII. Kangen sama masa lalu..berbagi dengan orang lain walaupun saat itu ilmu masih pas pasan..senang sekali bisa mencerahkan. Kapan dan kapan lagi yach....Kangen dengan ide-ide gila peserta pelatihan...kangen dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang gila juga..membuat saya terus belajar...merasa bodoh...dan menghilangkan sedikit arogansi. Mungkin, saat ini saya hanya cukup bersyukur dengan yang ada..bersyukur masih diberikan kehidupan yang dinamis di dunia ini. Allah, terimakasih atas segalaNya, jangan jadikan saya, istri dan keluarga-keluarga tercinta saya menjadi orang yang tidak bersyukur..kumpulkan kami sekeluarga di surga nanti..tuk anakku...Anindya Ihsani Puteri...kau telah mendahului kami...sampai jumpa di surga sana..Insya Allah...kami sangat merindukanmu...

Rabu, 28 Januari 2009

REVALUASI ASET TETAP

REVALUASI ASET TETAP: SUATU TINJAUAN DARI ASPEK AKUNTANSI DAN ASPEK PERATURAN PERPAJAKAN
Ditulis oleh Tarko Sunaryo
Tuesday, 26 August 2008

Pada tahun 2007 Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia mengesahkan tiga Exposure Draft menjadi PSAK yaitu PSAK No 13 (revisi 2007) Properti Investasi, PSAK No. 16 (revisi 2007) Aset Tetap dan PSAK No. 30 (revisi 2007) Sewa. Ketiga PSAK tersebut berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2008. Ketiga PSAK tersebut terutama membahas mengenai standar perlakuan akuntansi untuk aset tetap. Pengesahan ketiga PSAK tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses konvergensi PSAK terhadap International Financial Reporting Standard (IFRS). Oleh karena itu materi PSAK baru tersebut diambil seluruhnya dari IFRS dengan beberapa penyesuaian karena ada beberapa nomor IFRS yang belum diadopsi di dalam PSAK.

Dengan berlaku secara efektif ketiga PSAK tersebut maka PSAK lama yaitu PSAK No. 13 (1994) Akuntansi untuk Investasi, PSAK No. 16 (1994) Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain, PSAK No. 17 (1994) Akuntansi Penyusutan dan PSAK No. 30 (1990) Akuntansi Sewa Guna Usaha menjadi tidak berlaku untuk penyusunan laporan keuangan sebuah entitas. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2008 Menteri Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 (PMK 79/2008) tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. PMK 79/2008 ini menggantikan peraturan sejenis yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002.

Tulisan ini akan membahas mengenai revaluasi aset tetap terkait dengan adanya standar akuntansi baru tersebut dan bagaimana hubungannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Revaluasi Aset Tetap Menurut Standar Akuntansi

Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan PSAK No. 16 (1994) adalah dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang sudah ada sebelumnya.


Sedangkan pada model revaluasian, setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.

Sedangkan dalam PSAK No.16 (1994) suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian lebih lanjut mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat pengecualian yaitu suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva tetap sepanjang revaluasi tersebut dilakukan dengan mengikuti peraturan pemerintah. Dalam hal ini peraturan pemerintah yang relevan adalah peraturan dibidang perpajakan. Kewajiban tersebut diantaranya adalah pengenaan pajak penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap sebagai hasil revaluasi dan pencatatan atas hasil revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini dilakukan untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan apabila suatu entitas melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan No.486/KMK/.03/2002 mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap dicatat dalam akun selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. Oleh karena itu salah satu pertimbangan penting dalam melakukan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah bagaimana dampak perpajakannya.

Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap dalam rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan. Suatu entitas yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau tidak atas hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung.

Beberapa paragraf dalam PSAK 16 (2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada saat revaluasian. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar. Jika tidak ada nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas dapat menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih lanjut mengenai bagaimana suatu entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar. Bahkan dalam kasus penentuan nilai wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung menyerahkan kepada profesi penilai. Sehingga dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas laporan keuangan.

PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material dari jumlah yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset tetap yang mengalami perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Sedangkan untuk perubahan nilai wajar yang tidak signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas pada saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.

Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya pernah diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi, maka terhadap kenaikan aset tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan laba rugi sebesar nilai penurunan yang diakui sebelumnya. Sisa nilai setelah sebagian diakui dalam laporan laba rugi tersebut dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak tangguhan perlu dihitung dan disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi tersebut.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah dilakukan revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas maka terhadap penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat didebet adalah sebesar saldo surplus revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan ke laporan laba rugi.

Dampak atas pajak penghasilan, jika ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat hasil revaluasi harus diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau penurunan revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau laporan laba rugi mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.

Pada saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan dengan salah satu cara yaitu:
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.

2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan tersebut membentuk bagian kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam mekanisme pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.

Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat dilakukan pada saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan. Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun pemindahan surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui laporan laba rugi.

Periode transisi

PSAK 16 (2007) mengatur periode transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu entitas yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetap maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost). PSAK ini juga mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai deem cost adalah nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai deem cost.


Demikian juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini belum diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.

Dalam kaitannya dengan PSAK 30 (2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan tidak diatur secara jelas apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset dilakukan revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai PSAK 16 (2007) bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam proses produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Selain difinisi tersebut, PSAK 16 (2007) juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus direvaluasi seluruhnya secara bersamaan adalah merupakan kelompok aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Karena itu aset tetap dari leasing menurut penulis termasuk kategori sebagai aset tetap.

PSAK 13 (2007) mengenai properti investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal dilakukannya pngukuran setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat dengan menggunakan model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung. Kenaikan atau penurunan atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan laba rugi.

Revaluasi Menurut Peraturan Perpajakan

Peraturan perpajakan yang terkait dengan dengan revaluasi aset tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan yang berlaku pada tanggal ditetapkan 23 Mei 2008. PMK 79 ini menggantikan KMK 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002. Perbedaan pokok antara peraturan baru dengan peraturan lama dijelaskan dalam paragraf berikut ini.

1. Cakupan aktiva yang dapat dilakukan penilaian kembali.
Dua alternatif diatur dalam PMK 79 ketiak perusahaan melakukan penilaian aktiva tetap yaitu: (a) dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan, atau (b) terhadap seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Sedangkan dalam KMK 486, penilaian kembali aktiva tetap dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Dengan demikian PMK 79 hanya memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah. Sedangkan dalam KMK 486 perusahaan bebas untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan penilaian kembali.

2. Jangka waktu penilaian
PMK 79 mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah melewati jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Oleh karena itu jika pada tanggal 31 Desember 2008 perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan maka revaluasi tersebut dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013.
Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama.

3. Dasar pengenaan pajak penghasilan final
Terhadap kenaikan hasil dari penilaian kembali aktiva tetap dikenakan pajak penghasilan final 10%. Dalam PMK 79 diatur bahwa pengenaan PPh final 10% dihitung dari selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai buku fiscal semula. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa pengenaan Ph final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kompensasi sisa kerugian fiscal dari tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dipergunakan.

Dengan demikian, jika perusahaan masih mempunyai sisa kerugian fiscal dari tahun sebelumnya maka tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai pengurang hasil revaluasi aset tetap.

4. Pembayaran PPh final secara angsuran
Terhadap PPh final yang terhutang, PMK 79 hanya memberikan waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam hal terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan kondisi keuangan sehingga tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa besarnya angsuran atas PPh final tersebut dapat dilakukan secara bertahap sampai dengan maksimal 2 (dua) tahun untuk nilai PPh lebih dari Rp 2 triliun sampai dengan Rp 4 triliun, diatas Rp 4 triliun sampai dengan Rp 6 triliun selama 3 (tiga) tahun, untuk nilai diatas Rp 6 triliun sampai dengan Rp 8 triliun selama 4 (empat) tahun dan diatas Rp 8 triliun maksimal selama 5 (lima) tahun.

5. Pengenaan tambahan pajak penghasilan final atas pengalihan aktiva tetap yang direvaluasi
PMK 79 mengatur bahwa apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru sebagai hasil revaluasian, perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Demikian juga apabila perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10(sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula, dikenakan tambahan PPh final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Sedangkan dalam KMK 486 disebutkan bahwa dalam hal wajib pajak melakukan pengalihan aktiva tetap yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, baik PMK 79 maupun KMK 486 mengharuskan perusahaan untuk mencatat selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan pajak penghasilannya pada neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap perusahaan tanggal……………….”

Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan semakin diperketat dan cenderung menjadi kurang menarik. Penilaian kembali aktiva tanah menjadi tidak menarik karena tidak dapat dikurangkan lagi dengan sisa rugi fiscal dan tidak ada manfaat tax saving dari penyusutan. Sehingga perusahaan akan cenderung tidak melakukan penilaian aktiva tanah sampai dengan terjadi realisasi pelepasan tanah.

Sedangkan aktiva tetap lainnya, manfaat yang ada adalah berupa tax saving berupa peningkatan besaran total biaya penyusutan seiring dengan adanya kenaikan nilai aktiva tetap. Namun demikian kenaikan tersebut juga diiringi dengan bertambahnya umur manfaat secara fiscal aktiva tetap tersebut. Sehingga besar kemungkinan pada saat dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap akan terjadi penurunan biaya penyusutan setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan apabila tidak dilakukan penilaian kembali aktiva tetap. Selain itu dengan adanya kewajiban untuk melakukan penilaian kembali terhadap seluruh aktiva tetap (kecuali tanah) dan jarak antara dua penilaian kembali harus selama 5 tahun, maka perusahaan tidak bisa membuat kombinasi aktiva tetap sehingga menghasilkan pilihan yang optimal pada saat dilakukan penilaian kembali. Oleh karena itu penilaian kembali aktiva tetap akan menarik bagi perusahaan yang sedang mengalami penurunan omset atau mempunyai aktiva tetap yang sebagian besar sudah mendekati habis umur fiskalnya namun aktiva tersebut masih mampu berproduksi secara baik dan jangka panjang mempunyai prospek bisnis yang lebih baik. Dalam hal ini perlu dilakukan perencanaan yang tepat kapan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan.

Model Biaya dan Model Revaluasi Untuk Properti Investasi Tidak Dapat Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan?

Uraian berikut ini merupakan penjelasan mengenai keterkaitan antara peraturan perpajakan dengan standar akuntansi.

Mengacu kepada penjelasan mengenai standar akuntansi dan peraturan perpajakan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai revaluasi aset tetap antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah periode kapan dapat dilakukan revaluasi, cakupan aset yang dapat dilakukan revaluasi dan bagaimana mencatat perubahan nilai atas hasil revaluasi.
PSAK 16 (2007) tidak membatasi kapan dilakukannya revaluasi aset tetap. Revaluasi dapat dilakukan setiap periode tertentu untuk kelompok aset tertentu. PSAK ini juga mengijinkan revaluasi dilakukan secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda. Sedangkan dalam PMK 79 tahun 2008 penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan setelah melewati jangka waktu lima tahun sejak penilaian terakhir menurut PMK tersebut. Demikian pula ketika dilakukan penilaian aktiva tetap harus dilakukan untuk seluruh aktiva tetap dengan atau tanpa tanah, dan tidak dapat lagi dilakukan secara parsial. Untuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease (PSAK No.30 2007), ketika dalam kelompok aset tersebut dilakukan revaluasi menurut PSAK 16 2007 maka seluruh aset tetap dalam kelompok tersebut seluruhnya termasuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease tersebut juga direvaluasi. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan dimana revaluasi hanya untuk aktiva tetap selain aktiva tetap leasing, karena aktiva tetap leasing perlakuan perpajakan diatur berbeda. Dalam hal pencatatan, PSAK 16 (2007) mengharuskan perusahaan untuk memilih model biaya atau model revaluasian sebagai kebijakan akuntansinya. Sedangkan dalam PMK 79 diatur mengenai kenaikan atas hasil penilaian kembali aktiva tetap sebagai bagian dari ekuitas. Dalam perspektif standar akuntansi maka model pencatatan dalam PMK 79 tahun 2008 adalah model revaluasian. Sedangkan untuk model biaya PMK 79 tahun 2008 tidak mengaturnya.

Oleh karena itu dengan terbitnya PSAK 16 (2007) maka terdapat dua tujuan yang berbeda dalam hal revaluasi aset tetap, yaitu untuk tujuan pelaporan keuangan atau untuk tujuan perpajakan. Hal ini berbeda dengan PSAK 16 (1994) dimana tidak ada perbedaan tujuan antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan karena PSAK 16 (1994) yang sebenarnya melarang revaluasi, namun memberikan ruang bagi revaluasi aset tetap yang dilakukan menurut ketentuan perpajakan. Karena itu setiap kali melakukan revaluasi untuk tujuan laporan keuangan maka harus sesuai dengan ketentuan perpajakan. Demikian juga sebaliknya, revaluasi untuk tujuan perpajakan juga akan tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.

Bagi perusahaan yang memilih model revaluasian untuk kebijakan akuntansi setelah perolehan awal maka dalam laporan keuangan aset tetap akan disajikan sebesar nilai wajar. Namun demikian dalam mekanisme perpajakan revaluasi atas aset tetap tersebut tidak harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk tujuan perpajakan.
Apalagi terdapat ketentuan dalam PMK 79 bahwa revaluasi untuk perpajakan hanya dapat dilakukan setelah lewat lima tahun, maka setiap revaluasi aset tetap yang dilakukan dalam periode tertentu yang disajikan dalam laporan keuangan tidak bisa diajukan permohonan kepada Dirjen Pajak. Selain itu perbedaan dalam hal aset mana saja yang direvaluasi antara standar akuntansi dengan ketentuan pajak juga menimbulkan kebutuhan akan revaluasi yang berbeda. Oleh karena itu mekanisme koreksi fiscal dan pengakuan pajak tangguhan atas beda temporer yang muncul akan menjembatani perbedaan tersebut.

Demikian pula mengenai revaluasi atas properti investasi maka akan terdapat perbedaan antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan.. Dalam PMK 79 tahun 2008, tidak mengatur secara spesifik mengenai properti investasi. Selain PMK tersebut, penulis belum menemukan peraturan lain yang mengatur mengenai revaluasi aktiva tetap (properti investasi) untuk tujuan perpajakan. Sehingga PMK 79 tahun 2008 menjadi satu-satunya peraturan mengenai revaluasi aset. Karena itu apabila properti investasi akan dilakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan maka peraturan yang relevan adalah PMK 79 tahun 2008 ini. Namun demikian terdapat permasalahan sehingga besar kemungkinan revaluasi properti investasi untuk tujuan perpajakan tidak dapat dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pencatatan hasil kenaikan penilaian kembali aktiva tetap. Menurut PMK 79 tahun 2008 hasil penilaian kembali akan dicatat dalam neraca sebagai selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dan mengharuskan dilakukan penyusutan atas aktiva tetap tersebut. Hal ini berbeda dengan PSAK 13 (2007), revaluasi atas properti investasi merupakan pilihan model sebagai kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan secara konsisten. Dalam hal terjadi revaluasi maka atas hasil revaluasi tersebut dicatat sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi sehingga perlu dilakukan secara tahunan. Selain itu dengan model revaluasi, maka terhadap properti investasi tersebut tidak dilakukan penyusutan. Perbedaan disusutkan atau tidaknya properti investasi dapat direkonsiliasi sebagi koreksi fiscal, namun demikian perbedaan dalam mekanisme mencatat kenaikan revaluasi merupakan perbedaan yang belum ada solusinya.

Demikian pula bagi perusahaan yang memilih model biaya sebagai kebijakan akuntansi untuk pengukuran setelah tanggal perolehan aset tetap dan properti investasi akan menghadapi kendala apabila bermaksud melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan.
Perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan PMK 79 tahun 2008 karena neraca dalam laporan keuangan tidak akan pernah tercatat selisih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap sebagai komponen dalam ekuitas. Karena itu besar kemungkinan jika melakukan revaluasi akan ditolak permohonannya oleh Dirjen Pajak. Alternatif dengan mengubah kebijakan pengukuran dengan model revaluasian bukan merupakan langkah yang tepat.
Meskipun PSAK ini memperbolehkan untuk mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasian namun hal ini bukan merupakan alternatif yang bijak. Karena pilihan kebijakan akuntansi adalah pilihan profesional yang sesuai dengan kondisi bisnis suatu entitas untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kondisi keuangannya. Beberapa perusahaan seperti industri manufaktur lebih cocok memilih model biaya karena terkait dengan penilaian persediaan.

Pasal 9 PMK 79 Tahun 2008 Perlu Direvisi?

Revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana sebuah perusahaan mencatat dalam neraca komersial selisih lebih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap. Pengaturan mekanisme pencatatan tersebut yang menghambat perusahaan manufaktur yang menggunakan model biaya untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Demikian pula dengan perusahaan perhotelan misalnya, yang menggunakan model revaluasian untuk mencatat properti investasinya akan mengalami kendala dalam hal yang sama. Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.

Model revaluasian dan model biaya dalam standar akuntansi keuangan (PSAK 16 2007 dan PSAK 13 2007) telah menyediakan standar yang jelas mengenai bagaimana mengukur, mencatat dan melaporkan revaluasi aset tetap. Termasuk model biaya, meskipun dalam neraca tidak mencatat mengenai harga aset tetap setelah revaluasian, namun dalam model tersebut terdapat mekanisme bagaimana melaporkan nilai wajar suatu aset tetap. Karena itu, jika seandainya Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 dihapuskan pun maka masih ada standar akuntansi yang pasti akan menjadi rujukan pada saat menyusun laporan keuangan. Jikalaupun direvisi, maka salah satu alternatif yang bijaksana adalah bagaimana membukukan selisih hasil revaluasi aset tetap dicatat dan dilaporkan harus sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Hal ini berbeda ketika suatu entitas masih mengacu kepada PSAK 16 (1994) karena dalam PSAK tersebut tidak memperkenankan model revaluasian kecuali mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku. Jika tidak diharuskan sesuai dengan Pasal 9 KMK 486/KMK.03/2002 maka atas hasil revaluasi tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan.