Senin, 05 Mei 2008

Pengrusakan saung kebun……..

2 Mei 2008
Seperti biasa setiap sabtu pagi saya pulang ke Bogor, sekitar pukul 09.00 saya baru sampai, dan saat itu ibuku dikasih kabar oleh Yudi, saudara yang tinggal di daerah Cipayung, ia bercerita mengenai saung (rumah panggung) di kebun milik kami ada yang merusak, pohon-pohonnya di cabut dan disetiap pinggir kebun di pagari oleh tanaman, menandakan setiap orang tidak boleh masuk ke kebun itu. Kebun itu berlokasi di Cipayung Ciomas Bogor dengan luas 1 hektar. Kebun itu baru 2 tahun yang lalu kami beli.

Kontan kami marah dan langsung mendatangi lokasi tempat perusakan itu. Yang terbayang saat itu adalah mencari pelakunya dan melaporkan ke ke kepolisian. Maklumlah saung itu di bangun cukup mahal dengan kayu-kayu yang sangat kokoh dan biasanya setiap sabtu tempat itu kami gunakan sebagai sarana represhing.

Kami urungkan niat untuk menghubungi polisi, tetapi kami mengundang beberapa tokoh masyakarakat setempat, Pak RT, Pak Lurah, dan dari ABRI, kebetulan ABRI itu merupakan sahabat dekat bapak saya. Serta Madhani, pemilik tanah yang menjualkannya kepada keluargaku.

Setelah berkumpul dan sedikit diskusi, dan menanyakan siapa yang terlibat melakukan pengrusakan tanah itu, ternyata salah-satu pemilik tanah itu yang bernama Madhani mengakui kalau dia yang merusak tanah itu. Menurut ceritanya, Ibu saya kurang bayar Rp 2.000.000 untuk pelunasan tanah itu, alasannya sederhana, karena ibu saya menunggu dulu surat ahli warisnya diselesaikan oleh penjual tanah tersebut sebagai syarat ibu saya untuk pembuatan akta jual beli. Disamping itu pembayarannya sebesar itu akan dilunasi nanti tanggal 3 Mei 2008.

Walaupun begitu, kami tidak melakukan tuntutan hukum kepada si penjual tanah itu. Secara hukum si penjual itu bisa dituntut tindakan pidana merusak kepemilikan orang lain. Tetapi kami tidak melakukan itu, ternyata logika hukum kami terkalahkan oleh logika nurani, kasihan dan prihatin dengan kehidupan si penjual tanah itu. Ia seorang kepala keluarga yang memiliki 2 tanggungan, istri dan satu orang anaknya, ia tidak bekerja, hanya lulusan SMP, kurang memiliki semangat bekerja dan sehari-hari menggantungkan kehidupannya dari hasil jual tanah warisannya itu. Mungkin saja sayapun akan melakukan hal yang sama yang dilakukan penjual tanah itu jika saya dalam kondisi seperti dia.

Tidak ada komentar: