Rabu, 31 Mei 2017

Dokter di Rumah Sakit

jonh R. Griffith dalam buku The Well Managed Community Hospital (1987) menyebutkan bahwa dokter, pada zaman dahulu dikatakan mempunyai kekuatan magis, mengharapkan kemandirian yang berlebihan serta menuntut tanggung jawab moral yang tinggi. Perkembangan di abad dua puluh ternyata memberi pandangan lain. Yang dahulu dikatakan kekuatan magis dokter, kini digantikan dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi ke dokteran. Yang dulu dikatakan dengan kemandirian seorang dokter, kini dibagi dalam berbagai bahkan puluhan jenis spesialisasi yang menguasai bidangnya masing-masing, yang artinya menuntut kerja secara tim. Yang dulunya dikatakan sebagai tanggung jawab moral tinggi kini banyak dicemari dengan isu malpra, komersialisasi, dan lain-lain. Kendati demikian, hingga kini dokter tetap merupakan inti utama dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Buku ini bahkan mengatakan bahwa karena latar belakang pendidikannya maka dokter adalah pimpinan klinik dan keilmuan di rumah sakit. Untuk itu perlu dibina hubungan yang baik dan serasi antara rumah sakit dan dokter, agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasiennya.

Griffith (1987) juga menyebutkan bahwa ada interdependensi antara rumah sakit dengan dokter. Antara keduanya haruslah ada kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak. Buku ini menggambarkan hubungan antara dokter dengan rumah sakit dalam bentuk cojoin staff, suatu istilah yang diperkenalkan oleh sosiolog W.R. Scott. Dalam konsep ini, hubungan akan terbina secara intensif, di mana para dokter secara aktif berpartisipasi dalam berbagai aspek manajemen di rumah sakit dan belajar mengerti sisi lain di rumah sakit. Rachel Massie dalam buku Essential of Management (1987) antara lain menyebutkan bahwa pelayanan di rumah sakit sangat dipengaruhi oleh para profesional yang ada di dalamnya, tentu termasuk para dokter ini. Para profesional biasanya cenderung sangat otonom dan berdiri sendiri dan tidak jarang misi serta irama kerjanya tidak sejalan dengan manajemen rumah sakit secara umumnya. Sukses kerja perseorangan sering kali jadi acuan keberhasilan. Akibatnya, tidak jarang ada kesan bahwa fungsi manajemen umum di rumah sakit dianggapnya kurang penting. Dalam hal ini manajer rumah sakit harus mampu mengintegrasikan kemandirian profesional medis ke dalam keseluruhan misi pelayanan rumah sakit sesuai dengan visi yang telah ditetapkan.

Dalam paradigma lama, peran dokter adalah paling dominan di rumah sakit. Dokter cenderung otonom dan otokratik. Profesi lain di rumah sakit dianggap hanya berfungsi membantu tugas para dokter. Pasienpun tidak hanya haknya, dan cenderung menurut saja siapapun yang diputuskan dokter. Dalam perkembangan para digma baru tentu halnya jadi dan telah berubah. Dari sudut pasien saja, saat ini customer take charge. Konsumen dalam hal ini pasien menentukan produk dan jasa yang mereka butuhkan, yang harus dipenuhi oleh produsen, dalam hal ini rumah sakit dan dokternya. Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 telah secara tegas menyebutkan "hak pasien" yang meliputi hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua. Dalam undang-undang ini juga di sebutkan bahwa tenaga kesehatan termasuk dokter tentunya dalam melakukan kewajibannya berkewajiban mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Suatu penilaian di Amerika Serikat yang dikutip dari tulisan John Ross dalam buku Ambulatory care Organization and Management menyebutkan tujuh keluhan pasien terhadap dokternya di  rumah sakit. Keluhan itu meliputi, tidak diberi cukup waktu oleh dokter, biaya terlalu tinggi, keangkuhan dokter, tidak diberi informasi lengkap tentang penyakitnya, tidak diberi informasi lengkap tentang biaya, waktu menunggu terlalu lama serta tidak adanya kerja sama antara dokter pribadi dan spesialis yang dikonsul.

Timbulnya paradigma baru ini, yang disertai dengan kemajuan teknologi dan globalisasi akan memaksa rumah sakit dan dokter mendefinisikan kembali hubungan kerja antara keduanya. Rumah sakit perlu menangani dokter sebagai salah satu jenis pelanggan mereka dengan berbagai harapan yang ingin dipenuhinya. Dalam buku Strstegic Healthcare Management (1995) di sebutkan bahwa di Amerika Serikat ada kecenderungan para dokter untuk membawa pasiennya keluar rumah sakit dan tangani sebagai pasien berobat jalan di tempat prakteknya saja. Hal ini tentu akan merugikan rumah sakit yang akan kebagian pasien yang betul-betul gawat. Buku ini juga mengungkapkan bahwa rumah sakit perlu memasarkan dirinya pada para dokter karena merekalah yang membawa pasien untuk dirawat di rumah sakit.
Ingerani dalam makalahnya pada Kongres PERSI VII 1996 menyatakan bahwa dalam hal membina hubungan antara rumah sakit dan dokter. pihak pengelola rumah sakit perlu memperhatikan beberapa hal. Pengelola perlu mengetahui kebutuhan dokternya, perlu mendukung dokter yang berminat dan mampu memberi masukan berguna, turut menjaga integritas dokter dan mampu memenuhi kebutuhan dokter-dokternya serta melibatkan mereka dalam pembuatan keputusan tanpa mengurangi otonomi pimpinan rumah sakit. Dikutip pula penelitian dari Goldberg dan Martin yang menyatakan bahwa dokter pada umumnya ingin bekerja pada rumah sakit yang bermutu, ingin turut berperan dalam pengaturan rumah sakit, mengharapkan berbagai dukungan dari rumah sakit serta tidak ingin bersaing secara langsung dengan rumah sakit dalam prakteknya. Sementara itu, dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia yang dikeluarkan oleh PERSI tahun 1993 disebutkan bahwa pihak rumah sakit punya kewajiban untuk mengadakan seleksi tenaga dokter, mengadakan koordinasi serta hubungan yang baik antar seluruh tenaga di rumah sakit, mengawasi agar segala sesuatunya dilakukan berdasar standar profesi dan berlaku adil tanpa pilih kasih.

Dokter juga punya peran penting dalam mendukung manajemen mutu dan biaya di rumah sakit. Samsi Yacobalis dalam Kongres PERSI VI 1993 menyatakan bahwa dokter berperan strategis dalam memanfaatkan dana rumah sakit. Sayangnya, para dokter umumnya kurang mendukung upaya penghematan (cost containment), dokter umumnya tidak "sadar biaya". Banyak yang masih menganut prinsip treatment at any cost dan menganggap pembatasan biaya adalah pembatasan terhadap otonomi profesinya. Untuk ini diperlukan perubahan sikap dan perilaku para dokter agar mereka mau memahami upaya efisiensi biaya tentunya memperhatikan keseimbangan antara mutu pelayanan dan biaya dengan menjelaskan tujuan akhirnya dari proses tersebut. Tulisan Tjandra & Yudanarso tentang "Mutu Pelayanan di Rumah Sakit" (1996) juga menyebutkan kenyataan bahwa para profesional termasuk dokter tentunya terkadang tidak begitu memperhatikan dampak finansial dari keputusan klinik yang di ambilnya. Pokoknya, kalau dari sudut profesi hal itu harus ada maka pihak manajemen harus mengadakannya, tanpa memperhitungkan aspek cost-benefit-nya

Buku The Great Reckoning (1993) menjelaskan bahwa tingginya biaya kesehatan di Amerika Serikat menunjukan suatu inefisiensi. Pengobatan kanker di Amerika Serikat biayanya 300.000 dolar seminggu, sementara pengobatan serupa di Meksiko hanya 15.000 dolar, dan di Cina bahkan 2000 dolar. Biaya dokter dan rumah sakit di Amerika per kapita ternyata tiga kali lebih tinggi daripada di Inggris. Rachael Massie dalam buku Essential of Management (1987) menjelaskan bahwa dalam sistem asuransi Medicare dengan DRG-nya di Amerika Serikat, rumah sakit tidak hanya bergantung pada dokter untuk memasukkan pasien ke rumah sakitnya, tetapi tagihan asuransi juga baru bisa direalisasi bila si dokter bekerja dan mengisi formulir yang diperlukan dengan akurat. Jadi di satu pihak para manajer rumah sakit perlu menyenangkan dokternya agar mau memasukan pasien, dan di pihak lain sang manajer harus pula mengontrol dengan ketat perilaku dokter tersebut. Sulitnya telah disebutkan terdahulu, dokter biasanya cenderung otonom dan sering kali menolak untuk dikontrol secara ketat.

Sumber  : Buku Manajemen Administrasi Rumah Sakit

Tidak ada komentar: